Politik Hukum Indonesia, Di Atas Tanah yang Diperebutkan

Politik Hukum Indonesia, Di Atas Tanah yang Diperebutkan
Ket Gambar : Junaidi Ismail. Foto: Ist

Clickinfo.co.id - Politik hukum di Indonesia pada dasarnya dibangun sebagai peta ideologis untuk menuntun arah pembangunan hukum nasional. Hukum tidak lahir sendiri, melainkan direncanakan, dirumuskan, dan diproduksi melalui kebijakan. 

Padmo Wahjono menyebut politik hukum sebagai kebijakan penyelenggara negara dalam menentukan arah, bentuk, dan isi hukum yang akan dibangun untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam perspektif demokrasi, tujuan itu seharusnya berpihak kepada rakyat, apalagi ketika menyangkut persoalan tanah dan kekuasaan agraria, dua wilayah sensitif yang sejak dulu menjadi sumber konflik dan ketidakadilan. 

Ketika hukum dibentuk dalam ranah agraria, ia tidak sekadar mengatur kepemilikan, tetapi juga menentukan siapa yang berhak hidup, bertani, tinggal, dan mewarisi ruang hidupnya di negeri ini. Sungguh politik hukum agraria tidak hanya menyusun norma, tetapi sedang menentukan masa depan martabat manusia.

Pada titik ini, kesadaran bahwa hukum merupakan alat politik tidak boleh dipungkiri. Teuku Mohammad Radhie menyatakan dengan tegas bahwa politik hukum merupakan pernyataan kehendak negara mengenai hukum yang berlaku saat ini sekaligus arah perkembangan hukum itu pada masa mendatang. 

Pernyataan ini relevan ketika pemerintah, melalui undang-undang dan regulasi turunannya, menentukan siapa yang berhak menguasai tanah dan sumber daya alam. Hukum tidak lagi menjadi kumpulan teks yang netral, melainkan pilihan politik yang memiliki konsekuensi nyata bagi kehidupan sosial. 

Ketika pemerintah menyerahkan ruang agraria dan wilayah adat kepada perusahaan tambang, perkebunan sawit, atau properti industri, kebijakan tersebut tidak netral, melainkan memiliki posisi moral, ia telah memilih kepentingan pemodal daripada rakyat.

Faktanya, agraria adalah jantung kehidupan bangsa, tetapi justru menjadi medan pertarungan paling brutal dalam sejarah pembangunan hukum Indonesia. 

Dalam konteks ini, Soedarto menambahkan bahwa politik hukum adalah kebijakan negara melalui badan-badan negara yang berwenang menyusun peraturan untuk mencapai cita-cita masyarakat. 

Kalimat Soedarto tampak ideal, tetapi pertanyaannya, cita-cita masyarakat yang mana? Apakah cita-cita petani yang ingin mempertahankan lahan warisan orang tuanya, atau cita-cita investor yang ingin menguasai ribuan hektare demi keuntungan industri? Dalam praktik hukum agraria Indonesia, cita-cita masyarakat sering diterjemahkan sebagai “kemakmuran nasional,” yang kemudian dibaca secara sempit sebagai pertumbuhan ekonomi berbasis investasi. 

Maka undang-undang yang seharusnya melindungi rakyat justru berubah menjadi instrumen formal untuk mengesahkan perampasan ruang hidup mereka.

Konstitusi sebenarnya telah memberikan arah moral yang jelas. Pasal 33 UUD 1945 menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. 

Namun, interpretasi terhadap frasa “dikuasai oleh negara” sering kali keliru dan disalahgunakan. Negara kemudian memposisikan diri sebagai pemilik sehingga bisa memberikan hak atas tanah dan sumber daya alam kepada pihak privat, alih-alih sebagai pengelola yang wajib memastikan keadilan dan kemakmuran rakyat. 

Dalam konteks ini, negara berubah menjadi distributor izin, pemberi hak guna usaha (HGU), hak pengelolaan (HPL), dan hak guna bangunan (HGB) yang lebih banyak menguntungkan korporasi dibandingkan masyarakat lokal. 

Pasal 33 seolah menjadi tiket legal bagi negara untuk menyerahkan kekayaan nasional ke tangan pemodal besar, dan inilah wujud konkret politik hukum yang dikendalikan oleh kepentingan ekonomi. Maka, hukum bukan sekadar teks, melainkan pilihan politik yang memiliki dampak sosial yang dalam.

Kita bisa melihat bagaimana hukum agraria menjadi alat legitimasi kekuasaan melalui konflik agraria yang terjadi di berbagai daerah. Catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menunjukkan bahwa setiap tahun terjadi ratusan konflik antara rakyat dengan negara dan korporasi. 

Konflik tersebut bukan sekadar sengketa administratif, melainkan pertarungan hak atas tanah yang telah menjadi sumber kehidupan turun-temurun. Ironinya, rakyat yang bertani di tanah sejak nenek moyangnya justru dikategorikan sebagai “penggarap ilegal” karena tidak memiliki surat formal yang diakui negara. 

Di sisi lain, perusahaan yang baru datang justru memiliki legitimasi hukum karena mengantongi izin dari negara. Di sinilah hukum dipertanyakan moralnya, apakah surat izin lebih penting daripada sejarah hidup manusia? Jika hukum dibuat untuk menjamin keadilan, mengapa mereka yang menjaga tanah justru terpinggirkan oleh mereka yang baru memperoleh hak legal melalui transaksi ekonomi-politik?

Politik hukum yang mengatur tanah dan kekayaan alam di Indonesia pada akhirnya menjadi arena penguasaan ruang hidup. Dalam banyak kasus, ruang hidup masyarakat bukan hanya direbut, tetapi juga dikriminalisasi. Orang kalah dua kali, tanahnya hilang dan dirinya dianggap pelanggar hukum. 

Hal ini tampak jelas dalam praktik kriminalisasi petani, masyarakat adat, dan warga desa yang mempertahankan tanahnya dari proyek tambang, perkebunan, atau pembangunan infrastruktur. Ketika mereka mempertahankan tanahnya, mereka dianggap menghambat pembangunan. Padahal pembangunan seharusnya bertujuan memajukan rakyat, bukan mengusir mereka dari kehidupannya sendiri. 

Maka, politik hukum telah berbalik: hukum digunakan bukan untuk melindungi yang lemah, tetapi justru untuk melindungi yang kuat dengan dalih pembangunan.

Dalam kerangka ini, hukum tidak lagi menjadi normwissenshaft semata, ilmu yang membahas kaidah-kaidah abstrak, melainkan teknologi kekuasaan dalam arti Michel Foucault, mekanisme kontrol yang membentuk relasi sosial. Foucault menjelaskan bahwa kekuasaan tidak hanya hadir dalam bentuk kekerasan fisik, tetapi juga melalui regulasi, administrasi, dan hukum yang mengatur kehidupan manusia. 

Ketika negara membuat aturan agraria yang berpihak pada investasi, itu adalah wujud kekuasaan yang mengontrol ruang hidup rakyat. Ketika aparat menggunakan hukum untuk mengusir warga dari tanahnya, itu adalah ekspresi kekuasaan yang tidak terlihat secara brutal tetapi efektif dalam mengatur siapa yang boleh tinggal dan siapa yang harus pergi. 

Dengan demikian, hukum agraria di Indonesia bukan sekadar sistem norma, melainkan praktik kekuasaan yang menentukan peta kehidupan sosial.

Persoalan ini semakin kompleks ketika hukum mempertahankan dokumen formal sebagai dasar legitimasi. Ilmu hukum normatif, sebagaimana dijelaskan dalam disiplin normwisseschaft, mempelajari perumusan aturan, sifat-sifat kaidah hukum, dan tugas serta fungsi kaidah tersebut. 

Namun, ketika kaidah hukum dipisahkan dari keadilan sosial, ia menjadi apa yang disebut Gustav Radbruch sebagai positivisme hukum yang membutakan moral. Radbruch mengingatkan bahwa hukum yang terlalu mengandalkan kepastian (legalitas) tanpa memperhatikan keadilan (moralitas) akan melahirkan kezaliman yang dilegalkan. 

Inilah yang terjadi ketika petani kehilangan ruang hidup karena tidak memiliki dokumen formal, sementara perusahaan memiliki kekuatan legal karena memegang izin yang dikeluarkan negara. Keadilan kemudian menjadi formalitas dan bukan substansi. Hukum tidak lagi menimbang benar salah, melainkan memiliki atau tidak memiliki dokumen.

Dalam struktur demikian, rakyat dipaksa tunduk pada standar administrasi yang mereka tidak pernah akses. Banyak desa dan komunitas adat tidak pernah mengurus sertifikat tanah karena sejak dulu hidup dengan cara komunal dan tradisional. Tanah bukan milik pribadi, melainkan warisan nilai kolektif. 

Namun, hukum modern menuntut bukti tertulis individual yang tidak selaras dengan konsep masyarakat adat. Ironisnya, ketidakhadiran dokumen tersebut dijadikan alasan untuk mengakui tanah sebagai “tanah negara” yang kemudian diberikan kepada perusahaan. 

Di sinilah politik hukum bekerja secara sistematis, ia mengubah nilai komunal menjadi objek privat yang dapat ditransaksikan. Dengan demikian, hukum agraria menjadi instrumen kapitalisasi ruang hidup.

Masalah lain muncul ketika hukum mulai dikendalikan oleh pasar. Ekonomi pasar mempengaruhi legislasi, dan legislasi mempengaruhi kontrol atas tanah. Fenomena ini dapat dibaca melalui konsep Karl Marx tentang akumulasi primitif, ketika modal pertama-tama terbentuk melalui perampasan tanah dan sumber daya masyarakat. 

Dalam konteks Indonesia, akumulasi modal dilakukan melalui instrumen hukum, bukan hanya kekerasan fisik. Undang-undang menjadi alat perampasan, bukan senjata layaknya penjajah bersenjata. 

Tanah diambil secara legal, tetapi tidak adil. Hukum memberikan legitimasi pada perampasan itu, dan aparat penegak hukum menjadi operator yang menjalankannya di lapangan. Maka, ketika hukum dikendalikan oleh pasar, keadilan tidak lagi menjadi orientasi hukum, melainkan menjadi korban pertama yang dikorbankan.

Sementara itu, pemerintah sering berdalih bahwa investasi adalah kunci pembangunan ekonomi untuk menciptakan lapangan kerja. Narasi ini terlihat logis, tetapi faktanya, pembangunan yang mengorbankan ruang hidup masyarakat tidak menciptakan keadilan, hanya memproduksi ketimpangan. 

Konflik agraria yang terjadi di berbagai wilayah justru memperlihatkan bahwa pembangunan yang tidak mengakui hak masyarakat atas tanah hanyalah pembangunan semu yang menyembunyikan ketidakadilan di balik angka pertumbuhan ekonomi. 

Dalam banyak kasus, masyarakat adat dan petani kehilangan tanah tanpa mendapatkan kompensasi yang layak. Mereka kehilangan ruang hidup, tetapi tidak mendapatkan ruang baru untuk bertahan hidup. Hukum, yang seharusnya melindungi mereka, justru berpihak pada pihak yang mengusir mereka. Hukum menjadi sekuriti bagi modal, bukan pelindung rakyat.

Politik hukum agraria di Indonesia pada akhirnya menggambarkan relasi kuasa antara negara, pasar, dan rakyat. Negara berada di tengah, tetapi sering memihak pasar. 

Rakyat berada di bawah dan sering tidak memiliki akses untuk memperjuangkan haknya secara legal. Ketika hukum tidak dapat diakses oleh rakyat, hukum hanya menjadi milik mereka yang mampu membelinya. 

Dengan demikian, hukum kehilangan legitimasi moralnya. Hukum yang tidak mengabdi pada keadilan tidak layak disebut hukum. Ia hanyalah dokumen administratif yang kehilangan manusia di dalamnya. Hukum yang baik tidak hanya memberikan kepastian, tetapi juga menjamin keadilan. Tanpa keadilan, hukum tidak lain adalah alat kekuasaan yang menyembunyikan ketidakadilan di balik teks normatif.

Masyarakat Indonesia tidak membutuhkan hukum yang hanya menata dokumen, tetapi membutuhkan hukum yang menjamin ruang hidup. Negara tidak cukup hanya mengatur kepemilikan, tetapi harus memastikan bahwa setiap orang memiliki hak untuk bertahan hidup. Tanah bukan sekadar aset ekonomi, tetapi juga ruang identitas, budaya, dan keberlangsungan hidup. 

Politik hukum agraria haruslah berpihak pada rakyat, atau ia akan menjadi alat perampasan sistematis. Keadilan agraria bukan pilihan moral, tetapi mandat konstitusi. 

Hukum harus kembali kepada Pasal 33 dengan jiwa keadilan, bukan sekadar teks yang digunakan untuk memperkaya segelintir orang. Karena Hukum bukan hanya untuk mengatur kehidupan, tetapi untuk memastikan bahwa kehidupan itu layak untuk dijalani. 

 

Oleh: Junaidi Ismail, S.H. 

Wartawan Utama

Related Posts

Comments (0)

There are no comments yet

Leave a Comment