Skandal Suap Hutan Lampung: KPK Tetapkan Tiga Tersangka dari Inhutani V dan PT PML
-
Clarissa - 22 November 2025
Clickinfo.co.id -- Sungai Budi Group melalui anak perusahaannya, PT Paramitra Mulia Langgeng (PML), bersama PT Inhutani V terseret dalam kasus dugaan suap terkait pengelolaan kawasan hutan di Provinsi Lampung.
PT Inhutani V memiliki hak areal hutan seluas 56.547 hektare di Lampung, dan sebanyak 55.157 hektare di antaranya dikerjasamakan dengan PT PML. Areal tersebut meliputi Register 42 Rebang, Register 44 Muaradua, dan Register 46 Way Hanakau. KPK menduga kerja sama seluas puluhan ribu hektare ini diperoleh melalui pemberian suap kepada pejabat Inhutani V.
Dalam kasus ini, KPK telah menetapkan tiga tersangka. Direktur PT PML Djunaidi (DJN) dan Aditya (ADT) selaku staf perizinan Sungai Budi Group ditetapkan sebagai pemberi suap. Sedangkan Direktur Utama PT Inhutani V, Dicky Yuana Rady (DIC), menjadi tersangka penerima suap. Ketiganya ditangkap dalam operasi tangkap tangan (OTT) KPK pada Rabu, 13 Agustus 2025, di Jakarta, Bekasi, Depok, dan Bogor. Mereka kini ditahan di Rutan KPK Gedung Merah Putih.
Kasus ini berawal dari dugaan suap pengurusan izin pemanfaatan kawasan hutan yang melibatkan direksi Inhutani V. KPK mengamankan sembilan orang dalam OTT tersebut. Selain pengurus Inhutani V, turut diamankan sejumlah pihak swasta yang berkaitan dengan PT PML dan Sungai Budi Group.
Permasalahan dalam kerja sama Inhutani V dan PT PML ternyata telah berlangsung sejak 2018. PT PML tercatat tidak membayar Pajak Bumi dan Bangunan 2018–2019 sebesar Rp2,31 miliar, tidak melunasi pinjaman dana reboisasi sebesar Rp500 juta per tahun, serta tidak menyampaikan laporan kegiatan bulanan kepada Inhutani V. Pada 2023, Mahkamah Agung memutuskan bahwa perjanjian kerja sama yang telah diubah pada 2018 tetap berlaku dan memerintahkan PT PML membayar ganti rugi Rp3,4 miliar.
Namun pada awal 2024, PT PML tetap melanjutkan niat bekerja sama mengelola kawasan hutan tersebut. Pada Juni 2024 terjadi pertemuan antara direksi dan dewan komisaris Inhutani V dengan pihak PT PML, yang menyepakati pengelolaan hutan melalui Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hutan (RKUPH). Sejumlah uang kembali mengalir pada periode ini, termasuk Rp4,2 miliar yang dikirimkan PT PML kepada Inhutani V untuk alasan pengamanan tanaman, serta uang tunai Rp100 juta yang diduga diterima Dicky dari Djunaidi.
Pada November 2024, Dicky menyetujui perubahan RKUPH yang menguntungkan PT PML. Februari 2025, ia menandatangani Rencana Kerja Tahunan (RKT) yang kembali mengakomodasi kepentingan perusahaan tersebut. PT PML kemudian menyiapkan berbagai bukti setor kepada Inhutani V dengan nilai Rp3 miliar dan Rp4 miliar, yang membuat laporan keuangan Inhutani V berubah dari merugi menjadi tampak positif.
Rangkaian pertemuan berlanjut hingga Juli 2025, di mana Dicky meminta satu unit mobil baru kepada Djunaidi dalam sebuah pertemuan di lapangan golf. Permintaan itu dipenuhi, dan pada Agustus 2025, staf Sungai Budi Group, Aditya, menyerahkan uang 189 ribu dolar Singapura kepada Dicky sekaligus menyampaikan bahwa proses pembelian mobil seharga Rp2,3 miliar telah diurus.
Dari OTT tersebut, KPK menyita uang tunai 189 ribu dolar Singapura (sekitar Rp2,4 miliar), uang Rp8,5 juta, satu unit Jeep Rubicon dari rumah Dicky, serta satu unit Mitsubishi Pajero dari rumah Aditya.
Dalam perkembangan penyidikan, KPK memanggil sejumlah saksi, antara lain Komisaris PT Inhutani V Apik Karyana, Ong Lina yang merupakan staf Sungai Budi Group, Wardiono selaku staf PT PML, serta Martua Hamonangan dari PT Inhutani V. Mereka dipanggil pada Selasa, 26 Agustus 2025, untuk memperdalam konstruksi perkara.


Comments (0)
There are no comments yet