
Clickinfo.co.id - "PELANGI YANG TERNODA!" Begitulah seruan lantang Ustadzah Hj. Nilla Nargis SH, M.Hum., yang menggugah hati banyak orang beriman.
Dalam satu kalimat, beliau menggambarkan kepedihannya melihat salah satu simbol keindahan ciptaan Allah SWT kini justru dijadikan identitas oleh kelompok yang menantang fitrah kemanusiaan dan ketentuan ilahi.
Pelangi bukan sekadar fenomena alam. Ia adalah lukisan langit setelah badai, pertanda harapan setelah kesedihan, dan simbol janji Tuhan dalam banyak kisah agama.
Dalam Islam, pelangi mengingatkan kita pada kemurahan Allah SWT, yang menghadirkan keindahan setelah hujan sebagai bentuk kasih sayang dan keagungan-Nya. Namun, hari ini, pelangi itu ternoda.
Diseret-seret ke dalam simbol gerakan yang bertolak belakang dengan ajaran agama, budaya timur, dan moral ketimuran yang luhur.
Allah SWT menciptakan manusia berpasang-pasangan. Laki-laki dan perempuan, bukan untuk saling bersaing dalam eksistensi, tapi untuk saling melengkapi dalam keseimbangan hidup.
Ini bukan soal kebebasan memilih orientasi, tapi soal ketaatan terhadap garis lurus yang digariskan oleh Sang Pencipta. Ketika manusia merasa lebih tahu dari Tuhan, itulah awal dari kerusakan moral dan peradaban.
Kaum Sodom dalam sejarah adalah pelajaran berharga. Sebuah bangsa yang mengingkari fitrah, mencintai sesama jenis, hingga Allah turunkan azab dari langit. Namun hari ini, kisah itu tidak lagi dijadikan cermin.
Justru yang terjadi adalah pengulangan dosa dalam balutan warna-warni pelangi. Mereka mengklaim pelangi sebagai lambang "cinta yang bebas", padahal cinta sejati tidak pernah lepas dari tanggung jawab dan tuntunan moral.
Simbol pelangi kini disusupi makna yang menyimpang. Padahal setiap warna dalam pelangi yakni merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, dan ungu, punya filosofi luhur.
Warna-warni ini melambangkan kebesaran Tuhan dalam menciptakan keberagaman alam, bukan untuk dilecehkan sebagai ikon gerakan yang bertentangan dengan norma agama.
LGBT bukan hanya soal orientasi pribadi. Ini telah menjadi gerakan sosial-politik yang memaksa masyarakat untuk menerima, memaklumi, bahkan merayakannya.
Mereka masuk ke sekolah-sekolah, menyusup ke media sosial, film, bahkan ke kurikulum pendidikan. Mereka mengemas ideologi ini dalam narasi "kebebasan", "hak asasi", dan "kasih sayang", padahal yang ditawarkan adalah pembenaran terhadap penyimpangan.
Sebagai umat beriman, kita tak boleh diam. Kita bukan membenci pelaku, tapi kita menolak perbuatannya. Kita bukan anti manusia, tapi kita pro-fitrah.
Menolak LGBT bukan berarti menyebar kebencian, tapi justru bentuk kasih sayang agar sesama kembali ke jalan yang benar.
Seperti dokter yang mencegah pasien meminum racun, demikian pula kita menolak normalisasi perilaku menyimpang ini demi menyelamatkan masa depan generasi bangsa.
Sebagai wartawan, saya menyerukan agar media kembali memegang peran sebagai penjernih informasi dan penuntun moral, bukan malah ikut merayakan penyimpangan.
Poros Wartawan Lampung menolak keras segala bentuk kampanye LGBT yang dibungkus sebagai toleransi. Kita mesti berani berkata benar di tengah dunia yang membingkai dosa sebagai gaya hidup.
Mari kita rebut kembali makna pelangi. Jadikan ia simbol ketauhidan, kebesaran Tuhan, dan keindahan hidup dalam koridor syariat. Pelangi bukan milik satu kelompok. Pelangi adalah milik langit, dan langit adalah milik Tuhan.
Jika ada upaya menyeret simbol-simbol agama dan alam ke dalam gerakan penyimpangan moral, maka kita punya tanggung jawab sejarah untuk meluruskannya.
Karena jika pelangi sebagai karya agung Tuhan saja bisa ditodai, maka jangan kaget jika kelak anak-anak kita akan tumbuh tanpa arah, tanpa fitrah, dan tanpa cahaya.
Seperti ungkapan Ustadzah Nilla Nargis "Jangan biarkan pelangi ternoda". Mari bersihkan langit jiwa dan akal dari kabut ideologi menyimpang. Kembalikan pelangi kepada hakikatnya janji dan harapan dari Tuhan untuk manusia yang taat. (M
Oleh: Junaidi Ismail, SH.
Ketua Umum Poros Wartawan Lampung
Comments (0)
There are no comments yet